Dari Tambang ke Batik: “Kujur” Jadi Identitas Baru Tanjung Enim

Smartizen – Di tengah hiruk-pikuk Tanjung Enim yang dikenal sebagai kota tambang, secarik kain kini menorehkan cerita baru, Batik Kujur. Lebih dari sekadar kain, batik ini merekam identitas budaya masyarakat lokal sekaligus membuka pintu rezeki bagi warga yang dulu hanya bergantung pada sektor pertambangan, (2/10).

Nama “Kujur” sendiri diambil dari senjata tradisional masyarakat setempat yang menyerupai tombak. Dalam filosofi budaya, kujur bukan hanya alat pertahanan, tetapi simbol keberanian, kehormatan, dan kekuatan hidup.


Cerita Batik Kujur bermula pada akhir 2018 saat PT Bukit Asam Tbk (PTBA) melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) memperkenalkan dunia batik kepada warga Dusun Tanjung. Ketua SIBA Batik Kujur, Ahmad Syahdan, menjadi salah satu yang merasakan langsung manfaatnya.

“Selain sosialisasi, PTBA memfasilitasi kami dengan peralatan, bahan, hingga pemasaran. Kami juga diajarkan cara mengelola kelompok, meningkatkan kinerja, dan mengembangkan produksi. Semua masih terus berjalan sampai sekarang,” ungkap Syahdan.

Pada 2 Maret 2019, Batik Kujur resmi diperkenalkan dengan tiga motif utama yang penuh makna: Keris sebagai simbol pusaka dan keberanian, Bunga Tanjung yang harum mewakili ikon kota, serta Padi yang melambangkan kesatuan dan kemakmuran.

Sejak itu, batik bukan lagi sekadar karya seni, melainkan sumber nafkah baru. Syahdan mengaku mampu meraih penghasilan kotor Rp7–10 juta per bulan, dengan pendapatan bersih sekitar Rp4 juta.

“Alhamdulillah, 80 persen kebutuhan rumah tangga bisa terpenuhi dari batik, termasuk biaya sekolah anak-anak,” ujarnya.

Menariknya, permintaan motif sering menyesuaikan momentum. Festival durian, misalnya, melahirkan motif durian yang laris manis. Begitu pula saat festival kopi, motif kopi menjadi primadona.

Harga Batik Kujur dibanderol antara Rp250 ribu hingga Rp500 ribu per lembar, tergantung bahan kain seperti katun premis atau sutra.

Meski pasar terus berkembang, para pengrajin masih menghadapi keterbatasan modal dan kapasitas produksi. Idealnya, kelompok pengrajin bisa menghasilkan 100–200 lembar batik per motif. Namun saat ini, sebagian besar hanya mampu membuat kurang dari 10 lembar.

“Kami masih fokus di kain. Belum berani masuk ke fashion karena keterbatasan modal dan keterampilan jahit,” jelas Syahdan.

Dukungan PTBA melalui Rumah BUMN menjadi penyemangat tersendiri. Program ini membantu pemasaran Batik Kujur agar lebih dikenal, tidak hanya di Tanjung Enim, tetapi juga ke pasar yang lebih luas.

Dari kampung yang dulunya tak mengenal batik, kini tumbuh sentra pengrajin dengan karya yang diakui. Batik Kujur membuktikan bahwa tambang bukan satu-satunya identitas Tanjung Enim.

“Kami sangat berterima kasih kepada PTBA. Dulu kami sama sekali tidak bisa membatik, sekarang sudah bisa menjual karya. Harapannya, Batik Kujur semakin mapan, punya stok cukup, bahkan bisa merambah dunia fashion. Semoga Batik Kujur menjadi kebanggaan Tanjung Enim,” tutup Syahdan.

Dari kujur ke motif, dari tambang ke kain, Batik Kujur lahir sebagai simbol keberanian budaya yang kini juga menjadi sumber kehidupan baru bagi masyarakat.(aep)