Warga Ngadu Ke Presiden Dugaan Pencemaran PT BAS, Tim Tipiter dan IP Tambang Cek Lokasi

MUARA ENIM Adanya laporan serta keluhan warga desa Pulau Panggung Enim, kecamatan Tanjung Agung Kabupaten Muara Enim ke Presiden RI dan instansi terkait. Dimana dalam keluhan itu sejak beroperasi tambang batubara PT.BAS (Bara Anugerah Sejahtera) diduga limbahnya telah mencemari lahan masyarakat sehingga tanaman terutama Karet terendam dan mati serta produksinya menurun. Menindak lanjuti hal itu ahirnya Tim Tipidter Ditreskrimsus Polda Sumsel & Inspektur Tambang meninjau langsung lokasi dimaksud.

informasi dihimpun, Minggu (8/1/2022), bahwa Tim Panit III Subdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda sumsel datang bersama Inspektur Tambang Kementrian RI dengan didampingi pemilik lahan H Abdul Mukti (Pelapor) melakukan pengecekan langsung lokasi kebun karet yang terkena limbah tersebut.


Dari hasil temuan Tim di TKP adalah adanya pohon karet yang mati sebanyak kurang lebih 8 batang pada lahan Pak H Abdul Mukti, terdapat lahan yang tergenang air yang diduga Limbah dan adanya dinding bens Disposal PT BAS yang bersebelaha dengan lahan Pak H Abdul Mukti. Namun sayangnya selama penyelidikan Tim Ditreskrimsus Polda sumsel melarang wartawan dan warga untuk mengambil gambar dan video mereka selama melakukan penyelidikan.

“Maaf ya, tidak boleh ambil foto dan video karena ini masih dalam penyelidikan,” ujar salah seorang petugas dari tim Tipidter Ditreskrimsus Polda Sumsel ke awak media.

Menurut Rizal Fauzi yang merupakan anak kandung pemilik lahan, H Abdul Mukti yang ikut serta ke lapangan mengatakan bahwa lahan yang dimiliki orang tuanya merupakan lahan produktif, perkebunan karet berusia sekitar 15 tahun yang berlokasi di Pulau Panggung Enim, dan masuk dalam Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. BAS. Pada tahun 2010, PT BAS mulai melakukan eksplorasi, dan tiba-tiba pemilik lama perusahaan tersebut menjualkan sebagian besar saham ke PT. Titan Group sekitar tahun 2014.

“Sejak tahun 2016, PT BAS mulai melakukan aktivitasnya membuang tanah disposal (kupasan tanah tambang) yang lokasinya bersebelahan dengan kebun milik orangtuanya,”ungkapnya.

Dan sejak itu, lanjutnya, limbah terus mengalir ke kebun orangtuanya dan jika hujan lahan kebun karet sampai terendam banjir dan sudah banyak yang mati.

“Dahulu pernah beberapa kali manajemen PT BAS menawarkan ganti rugi lahan orangtuanya namun tidak sesuai karena lahan kami produktif. Kalau lahan kiri kanan sudah banyak yang dibebaskannya,” ujarnya.

Masih dikatakan Rizal, semenjak tanah disposal tersebut terbentuk, dan limbah masuk ke area perkebunan, penghasilan kebun karet turun drastis. Dari sebelumnya mencapai 1 ton perbulan, namun sekarang tinggal 100 kg per 3 bulan.

“Akibatnya petani tidak mau lagi menyadap karet kebunnya karena penghasilan sudah tidak sesuai lagi dengan biaya operasional yang dikeluarkan,”tuturnya.

Diketahui, luas lahan kebun karet tersebut 2,5 hektar berdasarkan surat kepemilikan, yang ditanami kebun karet dengan bibit unggul dari tanah Sumbawa kemudian penanaman berdasarkan pola atau teknis pertanian, perkebunan.

“Lokasi kebun, secara geografis dekat dengan sungai Enim dan Air Purut, keadaan kebun yang rusak permanen lebih kurang 6000 meter persegi akibat pembangunan Disposal. Dahulu di dekat kebun tersebut ada Danau Pujian, sumber air resapan, kalau menurut legenda (hikayat) dahulunya itu merupakan ‘Sungai Enim Ngalih’ karena habitat di sana persis habitan di Sungai Enim, seperti didapati ikan Belida, ikan Seluang, Lampam dan sebagainya. Namun sejak dibangun Disposal, danau tersebut ditimbun sehingga tidak ada lagi tempat menampung air sehingga air mengalir kemana-mana terutama ke arah kebun orangtuanya sebab masih ada aliran Sungai Purut,”bebernya.

Lanjutnya, hal ini dinilai sangatlah merugikan bagi orang tuanya, karena dengan tidak produktifnya kebun tersebut telah menghilangkan mata pencaharian orang tuanya sejak tahun 2016. Untuk itu, pihaknya meminta PT BAS untuk mengganti kerusakan sesuai aturan, sebab pihaknyansecara persuasif kekeluargaan sudah menemui manajemen PT BAS di kantornya, tapi dari hasil pertemuan tersebut harga yang mereka tawarkan sangatlah rendah tanpa memperhitungkan dampak dan kerugian lainnya. Dan diakuinya, pada tahun 2016 PT BAS sempat memberikan dana tali kasih atau uang kerohiman sebesar Rp 3,5 juta, namun sesudah itu tidak ada lagi pemberian dana kerohiman tersebut.

“Karena kami rakyat kecil, kami berpikir untuk berproses dan meminta bantuan kepada pemilik kebijakan paling tinggi di republik ini, dalam hal ini Presiden RI Jokowi beserta komponen lainnya yang memang ada hubungannya, seperti Kementerian Lingkungan Hidup, Pertambangan, Kapolri dan Komisi 7, juga aktivis lingkungan seperti Walhi, kita kirim juga ke Gubernur, Kapolda, Kadin Pertambangan Provinsi, KLH Provinsi dan PJ Bupati Muara Enim,” terangnya.

Lebih lanjut, Rizal mengatakan dari pengaduan mereka sudah mendapat respon dari dari Kapolda Sumsel, buktinya kita sudah di BAP dan tim sudah turun ke lapangan. Namun pihaknya berharap kedepan secepatnya ada tindaklanjutnya sebab permasalahan ini sudah terlalu lama berlarut-larut.

“Sebab pihaknya sebagai pemilik lahan, berharap agar lahan tersebut bisa dibebaskan dengan harga yang pantas dan layak dihitung bersama kerusakan-kerusakan lingkungan hidup dan tanam tumbuh sesuai dengn SK Gubernur Sumsel, serta hilangnya mata potensi mata pencarian sejak 2016 sampai 2023,”katanya.

Sementara, ketika dikonfirmasi ke KTT PT BAS melalui Manager Humas PT BAS, Akwam Mudatsir mengatakan bahwa secara prinsip pihaknya masih menunggu hasil dari mereka (Tipidter Ditreskrimsus Polda Sumsel bersama Dirjen Minerba), setelah itu baru bisa disampaikan.

“Karena masih dalam proses, sehingga kami belum bisa berkomentar,” pungkasnya.

Perum GEMA


Komentar